Beranda | Artikel
Kaedah Fikih (18): Hukum Perantara Sama dengan Hukum Tujuan
Rabu, 28 Januari 2015

Kaedah ini sangat bermanfaat sekali ketika kita ingin memahami halal dan haram. Misalnya saja tanaman tembakau. Mayoritasnya digunakan untuk bahan baku rokok. Apakah menanam tembakau dihukumi haram karena rokok itu haram?

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata,

وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ

وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ

Hukum perantara sama dengan hukum tujuan

Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya

Kita harus pahami bahwa wasail atau perantara ada tiga macam:

1- Perantara yang mengantarkan pada tujuan secara pasti. Secara sepakat, hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Untuk masalah ini, para ulama mengungkapnya dengan suatu ibarat,

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

Contohnya ketika mandi junub, mencuci kaki dikatakan sempurna jika betis juga dicuci. Sehingga mencuci betis kala mandi menjadi wajib.

2- Perantara yang mengantarkan pada tujuan namun jarang ditemukan. Secara sepakat, hukum antara perantara dan tujuan tidaklah sama. Perlu dipahami bahwa sesuatu yang jarang kemunculannya tidaklah ditoleh syari’at dalam masalah hukum.

Contohnya, sekarang ini jarang sekali anggur secara langsung dijadikan khamar (minuman keras). Karenanya, hukum menanam anggur tidaklah terlarang karena sedikit sekali atau jarang yang dijadikan khamar saat ini.

3- Perantara yang biasanya mengantarkan pada tujuan (namun tidak selamanya atau tidak secara mutlak seperti itu). Inilah yang masuk dalam bahasan saddu adz dzaro-i’ yaitu perantara (wasilah) pada yang haram tetap dicegah. Apakah untuk masalah ini berlaku kaedah hukum perantara sama dengan hukum tujuan?

Para ulama berselisih pendapat akan hal ini? Ada yang menganggap tidak termasuk dalam saddu adz dzaro-i’, sehingga tidak sampai haram. Ulama lainnya menganggap bahwa saddu adz dzaro-i’ berlaku sehingga hukum perantara tersebut sama dengan hukum tujuan. Alasan pendapat kedua ini adalah:

a- Allah tetap melarang perantara yang biasanya (walau tidak secara mutlak) akan mengantarkan pada yang haram. Di antaranya dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108). Dalam ayat ini dilarang untuk mencaci maki sesembahan orang musyrik. Karena dari cacian tersebut nantinya mereka akan mencaci maki Allah. Padahal mencaci maki Allah itu haram. Dari sini disimpulkan bahwa yang menjadi perantara pada yang haram, dihukumi haram.

b- Berargumen dengan saddu adz dzaro-i’ berarti telah berpegang pada dalil pokok disamping perantaranya sebagai tambahan juga dilarang. Jadi bukan larangan pokok saja, namun larangan tambahan pula kita amalkan.

Intinya menurut jumhur (mayoritas ulama), saddu adz dzaro-i’ tetap berlaku, yaitu segala hal yang biasanya menuju pada tujuan yang haram tetap dilarang. Inilah pendapat yang lebih kuat. Walau perantara ini sewaktu-waktu tidak menuju pada yang haram, bisa saja mengantarkan pada suatu yang mubah.

Contohnya tembakau. Memang mayoritasnya, tembakau digunakan sebagai bahan baku rokok. Kebanyakan yang menanam tembakau pun demikian tujuannya untuk dijual sebagai bahan baku rokok. Padahal rokok –menurut pendapat terkuat- dihukumi haram karena bahayanya yang begitu besar, lebih-lebih dilabeli dalam bungkus rokok saat ini ‘rokok itu membunuhmu’. Lihat bahasan “Masih Rokok Akan Haramnya Rokok”.

Selain sebagai bahan baku rokok, tembakau bisa menghasilkan protein anti kanker, melepaskan gigitan lintah, obat diabetes dan antibodi, anti radang, penghilang embun dan obat luka. Dari sini apakah perdagangan tembakau jadi tidak boleh? Jawabannya, mayoritasnya, tembakau digunakan untuk bahan baku rokok karena keuntungannya yang diperoleh lebih besar. Sehingga kaedah saddu adz dzaro-i’ berlaku, yaitu jual beli tembakau tidak dibolehkan.

Dari kaedah yang kita kaji dapat diturunkan beberapa kaedah:

  • Perantara menuju yang wajib dihukumi wajib. Seperti berjalan menuju shalat wajib dihukumi wajib.
  • Perantara menuju yang sunnah dihukumi sunnah. Seperti menjenguk orang sakit yang dihukumi sunnah, maka berjalan menuju hal tersebut dihukumi sunnah.
  • Perantara menuju yang haram dihukumi haram. Seperti perantara menuju syirik besar, dihukumi haram. Contoh mengagungkan kubur dan tabarruk (ngalap berkah) dengan kubur yang tidak sampai menyembah kubur, tetap dilarang karena pelarangannya dengan maksud saddu adz dzaro-i’ (untuk mencegah dari sesuatu yang haram yang lebih parah).
  • Perantara menuju maksiat dihukumi haram. Seperti perantara menuju zina dengan berdua-duaan pria dan wanita, dihukumi haram.

Sedangkan perkataan Syaikh As Sa’di yang terakhir,

وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ

Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya

Maksudnya sesuatu itu ada tiga macam: (1) tujuan (maqosid), (2) perantara (wasail), (3) penyempurna (mutammimaat).

Contoh maqosid adalah shalat. Perantaranya adalah dengan berwudhu dan berjalan menuju shalat. Penyempurnanya adalah kembali dari shalat atau pulang ke rumah. Berarti pulang ke rumah dari shalat pun dihukumi sama dengan tujuannya yaitu shalat. Oleh karenanya, siapa yang keluar menuju ibadah sampai kembali, dihukumi sebagai ibadah.

Dari Ubay bin Ka’ab berkata,

قَالَ كَانَ رَجُلٌ لاَ أَعْلَمُ رَجُلاً أَبْعَدَ مِنَ الْمَسْجِدِ مِنْهُ وَكَانَ لاَ تُخْطِئُهُ صَلاَةٌ – قَالَ – فَقِيلَ لَهُ أَوْ قُلْتُ لَهُ لَوِ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِى الظَّلْمَاءِ وَفِى الرَّمْضَاءِ . قَالَ مَا يَسُرُّنِى أَنَّ مَنْزِلِى إِلَى جَنْبِ الْمَسْجِدِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِى مَمْشَاىَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَرُجُوعِى إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ

“Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui seorang pun yang jauh rumahnya dari masjid selain dia. Namun dia tidak pernah luput dari shalat. Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya, “Bagaimana kalau engkau membeli unta untuk dikendarai ketika gelap dan ketika tanah dalam keadaan panas?” Orang tadi lantas menjawab, “Aku tidaklah senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah telah mencatat bagimu seluruhnya.” (HR. Muslim no. 663)

Imam Nawawi berkata dalam Shahih Muslim mengatakan,

فِيهِ : إِثْبَات الثَّوَاب فِي الْخُطَا فِي الرُّجُوع مِنْ الصَّلَاة كَمَا يَثْبُت فِي الذَّهَابِ .

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa langkah kaki ketika pulang dari shalat akan diberi ganjaran sebagaimana perginya.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 149)

Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian.

 

Referensi:

Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, tahun 1420 H.

Risalah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Pensyarh: Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Ghorik, terbitan Dar At Tadmuriyyah, cetakan pertama, tahun 1432 H.

Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, Rabu sore menjelang Maghrib, 7 Rabi’ul Akhir 1436 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/10130-kaedah-fikih-18-hukum-perantara-sama-dengan-hukum-tujuan.html